Tengkek Barong, Cekakak Jawa, Raja
Udang yang Trengginas dan Cantik
Ia sebuah keindahan yang telah datang dari masa lalu. Saya termasuk ke
dalam generasi terakhir yang ketika
masih kanak-kanak bisa bermain di tanah lapang yang luas, di rerimbunan
peta-petak sebelah rumah yang belum dibangun, yang berteriak minta uang kepada
kapal terbang yang melintas jauh di langit. Dan hanya beberapa lemparan batu
dari petak bermain, terhampar sawah
–sawah dengan kali-kali kecil irigasi. Disitulah saya kerap termangu melihat
tampangnya yang cantik. Paruhnya berwarna
merah runcing panjang dan kerap terbuka.Kakinya juga merah. Perawakannya pendek
tegap, bulunya berkilat dengan komposisi warna yang mencolok dengan dominasi
biru pirus. Kepala, sebagian sayapnya; di bagian bawah, atau dalam istilah
ornitologi disebut penutup sayap, berwarna
hitam kecoklatan.
Nama latinnya adalah halcyonus cyanoventris. Halyconus berarti
tenang. Mungkin ini diambil dari gaya tongkongan burung
ini yang tenang dan anggun ketika
hinggap di batang atau ranting pohon yang biasanya terletak dekat air, baik
kali, sungai,kolam atau saluran irigasi. Sedangkan cyanoventris maknanya berperut
biru. Genus Halyconus adalah salah satu dari 3 genus dari suku Alacideae
atau burung raja udang.
Nama balinya adalah tengkek barong, di Jawa kadang dipanggil tengkek atau cekakak.
Inggrisnya adalah javan kingfisher dan dalam bahasa Indonesia lazim disebut
cekakak jawa. Menurut Morten Strange burung yang tinggal di daerah pedesaan ini
kuantitasnya sedang mengalami penurunan di Jawa namun masih mudah dilihat di
pulau Bali.
Indonesia yang kaya keragaman hayati, menurut literatur,
tercatat memiliki 23 spesies raja udang yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Lima
di antaranya dapat ditemukan di Bali; common kingfisher (pekaka cit-cit), blue
eared kingfisher (raja udang meninting), javan kingfisher (cekakak jawa), small
blue kingfisher (raja udang biru), oriental dwarf king fisher (pekaka api),
stork billed kingfisher (pekaka paruh pendek/kekar). Seumur hidup, ataupun sepanjang trekking yang
penulis lakukan sekarang sebagai pemandu wisata di Bali, hanya cekakak jawa yang
kerap saya lihat. Rasanya saya pernah melihat pekaka cit-cit. Sedang yang lainnya sayangnya
belum pernah saya lihat di alam liar.
pekaka cicit
raja udang meninting
pekaka api
Ia bertelur hingga 3-4 butir dan telur diperam di dalam
sarangnya berupa terowongan dalam tanah.
Ketika masih kuliah dulu di tahun 90-an, saya bersua burung
ini di pasar burung Yogakarta. Tentunya ini adalah pertemuan yang menyedihkan. Walaupun
ukurannya sedang saja, mencapai 25 sentimeter seekor cekakak jawa yang biasa
terbang bebas lepas di alam liar, yang mampu terbang cepat dan menukik untuk
menangkap ikan tentunya merasa tersiksa berada dikandang sempit dan hanya diberi
makan jangkrik. Walau tak lazim, di
Indonesia ternyata ada penggemar burung yang berusaha untuk memeliharanya dalam
sangkar. Dan kata penjualnya kebanyakan memang tak bisa hidup lama kalau
dipelihara.
Alam terkembang menjadi guru kata orang Minang. Raja udang
bisa berarti lebih bagi yang mau belajar dan menghargai alam. Bangsa Jepang meniru
bentuk paruh raja udang untuk mendapatkan bentuk aerodinamis terbaik bagi kepala
lokomotif kereta api cepatnya, shinkansen.
Burung ini adalah juga sebuah penanda apakah sebuah daerah
airnya tercemar atau tidak, sebab ia tidak dapat tinggal di seputaran air yang kualitasnya buruk.
Semoga saya selalu dapat bersua dengan si tengkek barong,
ketika trekking, bersepeda di pedesaan, menyusuri sungai, bukan di pasar. Ia selalu
saya rindukan walau ia tak pernah rindu pada saya : )
==
Bahan bacaan:
- A photographic Guide to the Birds of Indonesia, text and
photo by Morten Strange, Periplus Edition , 2001.
-Birds of Southeast
Asia, Craig Robson, Princeton Filed Guides, 2005
-Wikipedia Inggris,
Prancis, Indonesia’
-Berbagai sumber.
'''
Guntur Suyasa
Banjar Seseh, Desember
2015